Perang parit adalah jenis perang yang ditandai dengan pembentukan zona defensif berbentuk parit, dengan kedua belah pihak menempati parit untuk tujuan mempertahankan posisi defensif.
Jenis peperangan seperti ini sering menghasilkan kemajuan yang lambat, dengan masing-masing pihak berusaha menguasai parit lawan agar memiliki keunggulan ofensif.
Perang parit terkenal brutal dan mengerikan dan amat terkait dengan Perang Dunia I pada tahun 1914-1918.
Beberapa faktor berkontribusi pada kemunculan perang parit. Pertama adalah kemajuan luar biasa dalam persenjataan balistik yang membuat serangan frontal secara tradisional sulit dilakukan.
Selain itu, peningkatan akurasi senjata dan kemampuan artileri membuat serangan frontal (langsung berhadap-hadapan) bisa berubah menjadi tindakan bunuh diri.
Kondisi ini lantas memicu pendekatan defensif yang menjadi karakteristik perang parit.
Perkembangan strategi pasokan logistik juga memberikan kontribusi. Pasokan dan perbekalan saat itu bisa dengan mudah dipasok oleh kereta atau truk dari garis belakang.
Dalam perang parit, kedua belah pihak membangun benteng yang melengkapi parit dengan berbagai cara termasuk menggunakan karung pasir, dinding, dan pagar kawat berduri.
Parit dirancang untuk memberikan perlindungan dari artileri. Setelah berlindung di parit, musuh akan sulit mengusir dan menguasainya, karena meskipun korban berjatuhan, bala bantuan dapat segera didatangkan dari garis belakang.
Daerah diantara parit yang diduduki oleh kedua belah pihak dikenal sebagai “tanah tak bertuan” atau “no man’s land” yang bisa digunakan sebagai area untuk mempersipkan serangan, meskipun tentara di tanah tak bertuan sangat rentan terhadap serangan dari sisi lain.
Di parit, kehidupan prajurit bisa amat mengerikan. Selama Perang Dunia I, mayat hanya dikubur dalam lubang dangkal di lantai atau dinding parit.
Kondisi ini menimbulkan bau menyengat yang bercampur dengan bau kakus darurat dan bau tubuh prajurit yang jarang mandi.
Persediaan makanan biasanya juga terbatas dengan tubuh tentara yang penuh kutu serta rentan terhadap infeksi serius.
Kondisi ini membuat banyak prajurit yang tewas di parit sebelum mereka sempat menembakkan peluru ke lawan.
Suasana di parit juga sangat menegangkan, dengan tentara yang mengalami serangan artileri musuh bertubi-tubi serta senjadi sasaran peluru sniper jika mereka berani menyembulkan kepala diatas parit.
Kondisi tersebut berkontribusi terhadap perkembangan masalah psikologis di antara tentara yang ditempatkan di parit.
Banyak satuan militer menanggapi masalah psikologis ini dengan regu tembak, yaitu memerintahkan tentara yang bermasalah dieksekusi karena dianggap pengecut dan melarikan diri dari medan perang.
Aksi militer di parit dapat dicapai dalam beberapa cara. Pasukan Jerman dalam Perang Dunia I terkenal menggunakan gas untuk membunuh atau melumpuhkan tentara musuh sebelum mereka berusaha menguasai parit lawan.
Artileri juga digunakan dalam upaya untuk menaklukkan pasukan musuh sebelum meluncurkan serangan langsung.
Kedua belah pihak menggunakan pula sniper dan tim komando kecil untuk meneror dan menyebarkan ketakutan pada pihak musuh.
Pada sebagian besar kejadian, berbagai upaya sering berakhir pada kebuntuan, dengan kedua pihak berhasil mempertahankan parit masing-masing sehingga tidak terjadi pergerakan di kedua arah.
Ketika satu pihak berhasil menduduki parit musuh, mereka mungkin menemukan diri mereka dalam jangkauan tembak musuh.
Meskipun berhasil merebut parit lawan, lawan yang terdesak biasanya hanya mundur sedikit untuk kemudian kembali bertahan di dalam parit.
Kebrutalan perang parit telah diabadikan dalam sejumlah film dan buku, termasuk buku oleh tentara yang berhasil selamat dari peperangan.
All Quiet in the Western Front dan Life in the Tomb adalah dua contoh novel tentang Perang Dunia I yang ditulis oleh para veteran yang selamat dari perang parit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar